(Renungan Galatia 6:1-10)
Galatia 6:1-10
"Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah."
Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari hukum tabur tuai. Yang paling sering kita dengar tentang hukum ini adalah siapa menabur pasti dia akan menuai, siapa menabur banyak akan menuai banyak. Namun selain hal itu, lamanya waktu kita menunggu tuaian juga sangat menentukan seberapa besar kita akan menuai. Jika ingin cepat-cepat menuai, maka besar tuaiannya juga sedikit. Jika ingin menuai cepat-cepat, tabur saja kacang hijau. Hanya dalam waktu lima hari kita sudah bisa menuai kecambah, tapi ya dapatnya harga kecambah yang sangat murah. Jika ingin menuai sedikit lebih lama, kurang lebih 3 bulanan, tanamlah padi, dan kita akan mendapatkan harga padi yang jauh lebih mahal daripada kecambah. Namun jika kita mau bersabar dan mau menunggu sampai tujuh tahun, tanamlah durian, maka ketika panen kita dapat tuaian durian yang sangat mahal.
Jangan pernah berhenti menabur hanya gara-gara kita tak kunjung menuai. Kalau kita sudah menabur dan tidak kunjung menuai, sabarlah sebab barangkali kita akan menuai sesuatu yang besar. Apa jadinya jika kita tidak sabar dalam masa penantian itu, apalagi kita memutuskan berhenti untuk memelihara iman terhadap benih yang kita tabur? Kita pasti gagal menikmati tuaian yang sebenarnya sudah Tuhan siapakan bagi kita!
Janji Tuhan kadang kala tidak dipenuhi secara instan. Kadang kala butuh waktu lama, bahkan sangat lama. Namun semakin lama kita menunggu dengan setia, yakinlah bahwa berkat-Nya pasti berbeda! Abraham menunggu janji Tuhan selama 25 tahun. Yusuf menunggu janji Tuhan selama 13 tahun. Daud juga menunggu waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya ia menjadi raja Israel. Butuh waktu lama untuk menikmati tuaian. Tapi, lihatlah apa yang mereka dapatkan dalam tuaian itu: Abraham diberkati dengan keturunan yang banyak. Yusuf diberkati diangkat menjadi pemimpin di Mesir. Daud diberkati dengan menjadi raja Israel. Jangan pernah kehilangan pengharapan di saat kita diperhadapkan dengan penantian panjang. Semakin lama waktu tuaian, semakin besar berkatnya. Asal kita tetap setia dan terus berharap kepada-Nya.
"Lamanya kita menunggu tuaian juga menentukan besar kecilnya tuaian itu."
Sunday, March 20, 2016
Tuesday, March 8, 2016
Sukacita Sejati
Banyak
orang mengira sukacita itu ada di luar dirinya. Mereka pikir kesehatan, uang,
pasangan, harta, kedudukan, ketenaran, kecantikan atau ketampanan bias membuat
mereka sukacita. Maka, seumur hidupnya, mereka pun berusaha meraih itu. Sebagian
berhasil sebagian tidak. Tapi fakta berbicara, bukan itu yang membuat mereka
sukacita. Buktinya, jika kekayaan membuat orang sukacita, tentunya Adolf
Merckle, salah satu orang terkaya di Jerman, tidak akan menabrakkan diri ke
kereta api. Jika ketenaran membuat orang sukacita, tentunya Michael Jackson,
King of Pop tidak akan meminum obat-obatan hingga overdosis. Jika kekuasaan
bias membuat orang sukacita, tentunya Getulio Varga, presiden Brazil, tidak
akan menembak jantungnya sendiri. Ada banyak contoh lainnya seperti Robin
William, Whitney Houston, dll.
Sukacita
sejati tidak berasal dari luar, namun dari dalam. Paulus merupakan contoh yang
tepat untuk hal ini. Kalau sukacita ditentukan hal-hal dari luar, maka seharusnya sama sekali tak
ada alasan bagi Paulus untuk bersukacita. Dia tidak diupah dalam menginjil,
dia kenyang dengan aniaya, dan penderitaan adalah sahabat karibnya setiap hari.
Bahkan ketika menulis surat Filipi yang sering disebut sebagai “Kitab
Sukacita”, dia menulisnya saat mendekam di penjara (Flp. 1:13). Bagaimana
mungkin orang yang berada di dalam penjara bias bersukacita dan memberi nasihat
kepada orang lain untuk bersukacita? Nyatanya Paulus bisa! Hal itu menunjukkan
kepada kita bahwa sukacita Paulus bukan dari luar, tapi dari dalam hatinya.
Kita hidup
di zaman yang mengagungkan kekayaan, ketenaran, kekuasaan, kecantikan dan
hal-hal yang kasat mata. Jangan sampai sukacita kita bersumber dari hal-hal
itu. Memang semua itu bisa memberi kegembiraan kepada kita, tapi yang pasti itu
bukanlah sukacita sejati. Sukacita seharusnya lahir dari hati, bukan dari
materi. Sukacita harusnya mengalir dari dalam, bukan dari luar. Hanya sukacita
yang berasal dari dalam hati yang membuat kita mengalami bahagia sejati,
sedangkan sukacita yang ditawarkan dunia ini gampang menguap dan bias seketika
lenyap. Dari mana sumber sukacita kita?
"Sukacita
sejati lahir dari hati, bukan dari materi."
Labels:
Renungan,
Spirit,
Teladan Menjadi Lebih Baik
Subscribe to:
Posts (Atom)